Postingan ini gue sadur dari majalah
bernama jalanjalan edisi Juli 2013, vol IX No. 07 karya Trinity yg
alumni Universitas Diponegoro, Semarang, dan Asian Institute of Management,
Manila, yg juga telah menulis tujuh buku travel, termasuk serial The Naked Traveler dan Duo Hippo Dinamis: Tersesat di Byzantium,
komik travel pertama di Indonesia. Naked-traveler.com
Berbahagialah jadi orang Indonesia. Ketidaknyamanan
dan ketidakjelasan yang biasa dialami di Negeri ini membuat orang Indonesia
lebih adaptif saat travelling.
Selama tujuh bulan perjalanan di
Amerika Selatan, saya bertemu dengan banyak sekali traveller. Kebanyakan mereka berasal dari Eropa, Amerika Serikat,
dan Australia. Begitu banyak keluhan saya dengar dari mereka. Ketika mereka
bilang “busnya busuk banget”, bagi saya bus itu cukup nyaman. Memang tidak
begitu bersih dengan jok bolong-bolong, tukang makanan dan minuman yang
keluar-masuk menjajakan dagangan, kenek yang memasukkan orang dan barang
melebihi kapasitas, serta supir yang ugal-ugalan. Mereka pun marah-marah. Saya hanya
tertawa dan merasa “feel like home”
karena bus seperti itu biasa di Indonesia. Ketika mereka marah-marah ke supir
dan kenek karena bus terlambat berangkat, lagi-lagi saya hanya tertawa. Mereka tidak
tahu arti “jam karet’” dan sistem “bus ngetem”. Ketika mereka bertanya kenapa
saya tidak ikutan komplain. Saya jawab, “Biasa saja, sama seperti di Indonesia!”
Ketika naik feri, kami diberi
peringatan bahwa kapal adalah alat transportasi bukan kapal pesiar, jadi
fasilitasnya terbatas. Bagi mereka kapal itu berisik dengan bunyi mesin, kamar
bau bensin, dan porsi makanan yang sedikit. Padahal saya malah terkagum-kagum
dengan kapal yang begitu bersih, makanan enak dengan menu steik sapi. Masalah berisik
dan bau bensin, di Indonesia kondisi kapalnya bahkan jauh lebih mengenaskan.
Saat tinggal di hostel, mereka
komplain karena kamar mandinya becek dan air panas dari pancuran ada dan tiada.
Ah, mereka tidak tahu kamar mandi di Indonesia yang sebagian besar sistem mandinya
pakai bak dan gayung sehingga pasti becek! Air panas? Cuma orang kaya yang
punya, kalau tidak kuat air dingin ya tinggal rebus saja air panas.
Ketika jalan-jalan di suatu tempat,
mereka mengeluh karena banyak penduduk
lokal yang menawarkan dagangan atau paket tur sehingga terasa
mengganggu. Padahal di Indonesia, itu praktik yang wajar. Tinggal bilang, “Tidak,
terima kasih” dan melengos pergi. Begitu juga dengan pengemis yang mendatangi
turis, mereka bilang pemerintah setempat harus bisa menanggulanginya dengan
memberikan pekerjaan. Tapi di Indonesia? Pemerintah tidak bisa mengatasi karena
jumlah penduduk membludak sehingga pengemis pun jadi pemandangan wajar bagi
kita.
Ketika ada orang gila di jalan,
sebagai orang Indonesia, saya terbiasa untuk berjalan menjauh dan tidak menatap
balik. Tapi bagi yang berasal dari negara maju, mereka berusaha “menjaga
perasaan” orang gila tersebut dengan menyapa dan tersenyum balik yang justru
berakhir dengan dikejar-kejar. Sebenarnya “lucu”, tapi saya juga kasihan
melihat mereka tampak ketakutan. Lalu si bule bertanya kepada saya, kenapa
keluarga si gila tidak memasukkan dia ke rumah sakit khusus untuk diterapi? Ah,
panjang penjelasannya!
Kalau saja saya bisa bilang ke mereka
yang tukang komplain bahwa tidak semua negara punya sistem sebaik di negaranya,
so stop complaining! Buat apa
travelling ke luar negeri kalau kondisinya dibuat sama kayak negara asal. Mana tantangannya?
Mana apresiasinya?
Sisi positifnya: sebagai warga
Indonesia, saat kita travelling ke mana pun kita akan sukses karena sudah
tertempa kondisi yang serba “tidak nyaman” di negara sendiri.
By. Trinity
So, Indonesia sih buat gue bagus,
tapi orang-orangnya yg suka nggak tertib yg bikin Indonesia jadi kurang sedap. But,
thank God! I’m Indonesian.
Jo, Cinta-Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar