18/12/13

~Jalan-jalan: The Undeniable Lightness of Being Indonesian~

Postingan ini gue sadur dari majalah bernama jalanjalan edisi Juli 2013, vol IX No. 07 karya Trinity yg alumni Universitas Diponegoro, Semarang, dan Asian Institute of Management, Manila, yg juga telah menulis tujuh buku travel, termasuk serial The Naked Traveler dan Duo Hippo Dinamis: Tersesat di Byzantium, komik travel pertama di Indonesia. Naked-traveler.com



Berbahagialah jadi orang Indonesia. Ketidaknyamanan dan ketidakjelasan yang biasa dialami di Negeri ini membuat orang Indonesia lebih adaptif saat travelling.

Selama tujuh bulan perjalanan di Amerika Selatan, saya bertemu dengan banyak sekali traveller. Kebanyakan mereka berasal dari Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Begitu banyak keluhan saya dengar dari mereka. Ketika mereka bilang “busnya busuk banget”, bagi saya bus itu cukup nyaman. Memang tidak begitu bersih dengan jok bolong-bolong, tukang makanan dan minuman yang keluar-masuk menjajakan dagangan, kenek yang memasukkan orang dan barang melebihi kapasitas, serta supir yang ugal-ugalan. Mereka pun marah-marah. Saya hanya tertawa dan merasa “feel like home” karena bus seperti itu biasa di Indonesia. Ketika mereka marah-marah ke supir dan kenek karena bus terlambat berangkat, lagi-lagi saya hanya tertawa. Mereka tidak tahu arti “jam karet’” dan sistem “bus ngetem”. Ketika mereka bertanya kenapa saya tidak ikutan komplain. Saya jawab, “Biasa saja, sama seperti di Indonesia!”

Ketika naik feri, kami diberi peringatan bahwa kapal adalah alat transportasi bukan kapal pesiar, jadi fasilitasnya terbatas. Bagi mereka kapal itu berisik dengan bunyi mesin, kamar bau bensin, dan porsi makanan yang sedikit. Padahal saya malah terkagum-kagum dengan kapal yang begitu bersih, makanan enak dengan menu steik sapi. Masalah berisik dan bau bensin, di Indonesia kondisi kapalnya bahkan jauh lebih mengenaskan.

Saat tinggal di hostel, mereka komplain karena kamar mandinya becek dan air panas dari pancuran ada dan tiada. Ah, mereka tidak tahu kamar mandi di Indonesia yang sebagian besar sistem mandinya pakai bak dan gayung sehingga pasti becek! Air panas? Cuma orang kaya yang punya, kalau tidak kuat air dingin ya tinggal rebus saja air panas.

Ketika jalan-jalan di suatu tempat, mereka mengeluh karena banyak penduduk  lokal yang menawarkan dagangan atau paket tur sehingga terasa mengganggu. Padahal di Indonesia, itu praktik yang wajar. Tinggal bilang, “Tidak, terima kasih” dan melengos pergi. Begitu juga dengan pengemis yang mendatangi turis, mereka bilang pemerintah setempat harus bisa menanggulanginya dengan memberikan pekerjaan. Tapi di Indonesia? Pemerintah tidak bisa mengatasi karena jumlah penduduk membludak sehingga pengemis pun jadi pemandangan wajar bagi kita.

Ketika ada orang gila di jalan, sebagai orang Indonesia, saya terbiasa untuk berjalan menjauh dan tidak menatap balik. Tapi bagi yang berasal dari negara maju, mereka berusaha “menjaga perasaan” orang gila tersebut dengan menyapa dan tersenyum balik yang justru berakhir dengan dikejar-kejar. Sebenarnya “lucu”, tapi saya juga kasihan melihat mereka tampak ketakutan. Lalu si bule bertanya kepada saya, kenapa keluarga si gila tidak memasukkan dia ke rumah sakit khusus untuk diterapi? Ah, panjang penjelasannya!

Kalau saja saya bisa bilang ke mereka yang tukang komplain bahwa tidak semua negara punya sistem sebaik di negaranya, so stop complaining! Buat apa travelling ke luar negeri kalau kondisinya dibuat sama kayak negara asal. Mana tantangannya? Mana apresiasinya?

Sisi positifnya: sebagai warga Indonesia, saat kita travelling ke mana pun kita akan sukses karena sudah tertempa kondisi yang serba “tidak nyaman” di negara sendiri.

                                                                        By. Trinity



So, Indonesia sih buat gue bagus, tapi orang-orangnya yg suka nggak tertib yg bikin Indonesia jadi kurang sedap. But, thank God! I’m Indonesian.




Jo, Cinta-Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar